Kamis, 03 Januari 2013

"Titik"


 1 : VERSUS

Pantai…

“Pantai… suansananya panas. Pengecualian, panas alami. Tapi, tempat yang paling menyenangkan. Dan… tapi, tempat yang selalu dirindukan oleh banyak orang yang menyukai pantai”.

“Akan ku berikan untukmu, ketika kau berada di pantai. Yah… keindahan pantai itu tak ternilai yang tak terhingga. Tak percaya?... ikutiku!. Oke, sebelumnya, akan ku perkenalkan juga, bahwa pantai akan menghipnotismu dalam dunia kedamaian. Masih tak percaya?, oke.. oke… tunggu sebantar, satu lagi… yang terakhir, pantai akan membangkitkanmu dalam suatu kekaguman pada sang pencipta. Tak percaya? Masih tak percaya? Mari kita rasakan bersama, akan ku bagi itu semua”. Ngomong, ngajak tah tau kesiapa, depan cermin, kebiasaannya. Dia lahir di daerah Pantai. Rafasa. Anak pantai…


Gunung…

“Aku bukan anak gunung. Yang terlahir digunung, yang tinggal digunung, bahkan aku tak pernah merasakan naik gunung. Tak mengenali suasananya”. Mengangkat kedua bahu, kedua tangan, memicingkan mata.

Ada yang bisa berbagi? Seperti apa itu gunung? Tentunya berbeda dengan pantai. Pasti.

Tapi ternyata stetmenya sama. Seperti yang digambarkan. Gunung membawa keindahan, membawa kedamaian, dan membawa kekaguman kepada Sang Pencipta.

“Sejuk… bahkan… jika malam lalu beranjak pagi, dingin mencekam. Ketika pagi beranjak merangkak ke siang… maka nyanyian burung, membangkitkan semangat. Gemercikan air,  Gesekan daun atar daun hemmm mengalahkan biola yang merdu. Menenangkan jiwa. Dengan merentangkan kedua tangan, memejamkan mata, mulai menghirup – perlahan. mulai – terasa terbang”. memperagakan diatas meja dosen.

“hei… saat siang lalu menghampiri sore, burung-burung pun tetap menyanyikan, riuh-riuh menghasilkan harmoni. Menandakan satu-dua ingin berkenalan, jatuh cinta hhaha. Alam disana ditakdirkan membawa kedamaian. Akan menjamin kehidupan yang tenang. Tapi… tergantung orang tersebut, jika akan mengganggu kedamain yang telah diberikan. Maka… mereka tak member ampun, membalasnya… kesetanan”. Seperti melantunkan sebuah dongeng, dan tiba-tiba sang pencerita gunung, ah bukan pencerita gunung… tapi memang ia terlahir di gunung, Giano… anak gunung. Berubah mimik beramarah. “dan… itulah alamku, gunung… pemberi ketangguhan bagi siapa yang berani!”.


Titik Tengah - Kota…

            Ketiga orang tersebut masih membahas Pantai – Gunung. Keduanya saling menjatuhkan. Yang satu terlihat mengangguk-ngaguk, entah mengerti entah tidak. Polos. Terlahir di Kota, Regan… anak Kota. Anak polos bijaksana.

“yahhh.. namun bagaimanapun… Bahwa, dimana orang yang terlihat berada digunung, maka orang tersebut adalah tangguh. Berbeda dengan pantai, dimana orang terlihat dipantai apalagi ditepian pantai, maka orang tersebut sedang berleha-leha... malas, pe-ma-las hha” dengan mengibas-ngibaskan tangannya berlahan-pelan dihamparan angin. Menegaskan sang berleha-leha yang digambarkan. Lalu tertawa pelan melecehkan. “hei ia gan?” Giano mencari pendukung.

“Hei!...” Rafasa mencoba memotong dan menjelaskan.

“heh ga baik potong-potong… tenanglah Raf… memang benarkan seperti itu?”. nada memancing. “heh… lu kan yang suruh gue cerita? Ya memang begitulah perbedaan dari Pantai dan Gunung Raf”. Giano tersenyum manis pertanda melecehkan.

“Owww… anjrit banget ni orang. Hei! Gue ga ngajak lu ribut! Cerita sih cerita, tapi gak usah ngejelek-jelekin tanpa lo tau yang sebenernya. Pernah kepantai aja belum! Sialan lu”. Muka bête Rafa mulai nyala.

 “eh-eh-ehh.. lupa pada yaa… aneh gue, baru kali ini gue liat lu-lu pada debatin yang ga penting, ga bermutu tau. Terus gak nanya gimana keadaan dikota, itu kan tempat kelahiran gue ahhh ga care nih… huh! Pantai-gunung-pantai-gunung terus aja debatin itu”. Mencoba menengahi tapi tetep tuh anak jeles, iri juga.

Serentak Rafasa dan Giano menolak “GAK PEN-TING!!!”. Sebenernya ngapain juga Rafasa dan Giano nanya-nyanya ngebahas tentang Kota, toh mereka sedang merasakan keadaan diKota, yang menurutnya sumpek, pengap, bau, kotor, hah tak ada indahnya. Tapi perlu dikeritisi supaya ada perubahan kan. Kota yang mereka jejaki sekarang, sebenernya kepaksa. Tuntutan orang tua. Untuk kuliah. Niat kuliah sih, tapi jurusan yang mereka ingin, keinginan orang tua. Lagian mereka berdua, Rafasa dan Giano lebih senang, bahkan lebih bangga kalau kuliahnya itu di provinsi kelahirannya. Tanpa bisa menikmati keindahan, kedamaian, dan kekaguman Sang Pencipta Alam yang alami, natural.

Gondok yang masih dirasain Rafasa, dia coba lanjutin topic tadi tapi tanpa Regan. Giano, dengan mantap ngangguk-ngangguk “oke, tanpa Regan” sambil menunjukan sesosok Regan dengan dagunya, lalu tertawa.

Entah memang hujan uda reda, entah emang jeles si Regan pamit pulang duluan. “shit banget lu pada, yauda lanjut aja tuh debat kalian, gue pulang duluan guys… jangan ada yang nebeng!!! Puas lo?! Hhaha”.

Terbirit-biritlah si Rafasa dan Giano inget uang di dompet mulai tipis, ngejar-ngejar Regan minta tumpangan. “Gan…Gan… tunggu nape? Gue mau emmm nebeng, kan lu tau isi dompet gue uda tipis, yah… emm emang dah lu ma orang yang paling baek sedunie su’ran dah”. Dan bcicitcicitcicitcitcicitcitcitcit si Giano ngolo-ngolo1 minta nebeng, yang kepaksa mohon-mohon minta nebeng, yang sebenernya ogah dan anti banget dengan mohon-mohon. Giano tipe orang yang cu’ek, tampilannya ngasal tapi bikin cwe-cwe kampus kelepek-kelepek. Gaya orang pendaki gunung, kekampus pun dia hobby pake sepatu gunungnya, celana jins, dan kaos berkerah. Dipadukan dengan jaket sport yang selalu gonta-ganti karna emang hobbynya koleksi jaket. Ditambah ransel dominan hitam berpolet merah yang menandakan berani. Jam tangan, kalung dan gelang yang selalu menjadi ciri khas dia. Gagah.

Disusul Rafasa giliran dia yang mohon-mohon. Beda ama si Giano, Rafasa lebih ga gengsian, malah pas mohon-mohon buat nebeng, dia juga mohon minta diteraktirin makan yang berbau seafood. “yah… yahhh… ajakin gue makan, beneran perut gue keroncongan gak papalah ama ikan asin juga…” dandanan Rafasa bisa dibilang cuek juga kalo dibanding ama cwe kota yang berpenampilan rapi, maching sesuai jaman tapi kadang sebagian ada yang rempong. Tapi, walau begitu dia terlihat cantik, putih walau dia terlahir dipantai, berwajah pirus, berambut galling agak pirang, tinggi, cocoknya sih kalo jadi model. Tapi Rafasa tidak berkeingin untuk seperti itu.  Tapi sayang terlihat cantik, dan elok namun dibalik itu dia cwe super duper blo’on. Cwe yang ga bisa nangkep sekali duakali penjelasan, setidaknya tiga kali. Tapi banyak tuh cwo-cwo yang ingin nyantol ke dia.

Untuk Regan, dia cwo perfect. Beda ama Rafasa dan Giano. Soal penampilan dia lebih memperhatikan. Malah sering perawatan. Rapi banget penampilannya tu, eh bukan penampilannya aja… tapi kamarnya yang bukan lagi segede lapang bola tapi segede lapang golf… rapi bener, tertata apik. Walau dia bisa dibilang perfect, tetep dia terlahir jadi malaikat buat Rafasa dan Giano yang satu lagi terlahir tidak menyombongi atas apa yang dia miliki. Ramah. Dia juga sama banyak fans cwe-cwe kampus.

“oke.. oke.. mana bisa sih gue nolak, apalagi liat dua orang depan geu sekarat, sekarat dompet maksudnya sob… tapi ngomong-ngomong ga jadi nih lanjutin debatnya?” mereka tertawa. Refasa dan Giano saling tatap. “oh masalah itu dipending dulu, yang penting isi perut…” sambil menepuk-nepuk peruk kemplengnya, dan tertawa lagi. “hemmm untuk itu gue setuju ama lu Raf, gue tunggu lanjutan debat kita di chat nanti malem!” Giano nantangin “oke!” tersenyum getir. Dan memasuki mobil.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar