1 : VERSUS
Pantai…
“Pantai…
suansananya panas. Pengecualian, panas alami. Tapi, tempat yang paling
menyenangkan. Dan… tapi, tempat yang selalu dirindukan oleh banyak orang yang
menyukai pantai”.
“Akan
ku berikan untukmu, ketika kau berada di pantai. Yah… keindahan pantai itu tak
ternilai yang tak terhingga. Tak percaya?... ikutiku!. Oke, sebelumnya, akan ku
perkenalkan juga, bahwa pantai akan menghipnotismu dalam dunia kedamaian. Masih
tak percaya?, oke.. oke… tunggu sebantar, satu lagi… yang terakhir, pantai akan
membangkitkanmu dalam suatu kekaguman pada sang pencipta. Tak percaya? Masih
tak percaya? Mari kita rasakan bersama, akan ku bagi itu semua”. Ngomong,
ngajak tah tau kesiapa, depan cermin, kebiasaannya. Dia lahir di daerah Pantai.
Rafasa. Anak pantai…
Gunung…
“Aku
bukan anak gunung. Yang terlahir digunung, yang tinggal digunung, bahkan aku
tak pernah merasakan naik gunung. Tak mengenali suasananya”. Mengangkat kedua
bahu, kedua tangan, memicingkan mata.
Ada
yang bisa berbagi? Seperti apa itu gunung? Tentunya berbeda dengan pantai.
Pasti.
Tapi
ternyata stetmenya sama. Seperti yang digambarkan. Gunung membawa keindahan,
membawa kedamaian, dan membawa kekaguman kepada Sang Pencipta.
“Sejuk…
bahkan… jika malam lalu beranjak pagi, dingin mencekam. Ketika pagi beranjak
merangkak ke siang… maka nyanyian burung, membangkitkan semangat. Gemercikan
air, Gesekan daun atar daun hemmm
mengalahkan biola yang merdu. Menenangkan jiwa. Dengan merentangkan kedua
tangan, memejamkan mata, mulai menghirup – perlahan. mulai – terasa terbang”.
memperagakan diatas meja dosen.
“hei…
saat siang lalu menghampiri sore, burung-burung pun tetap menyanyikan,
riuh-riuh menghasilkan harmoni. Menandakan satu-dua ingin berkenalan, jatuh
cinta hhaha. Alam disana ditakdirkan membawa kedamaian. Akan menjamin kehidupan
yang tenang. Tapi… tergantung orang tersebut, jika akan mengganggu kedamain
yang telah diberikan. Maka… mereka tak member ampun, membalasnya… kesetanan”.
Seperti melantunkan sebuah dongeng, dan tiba-tiba sang pencerita gunung, ah
bukan pencerita gunung… tapi memang ia terlahir di gunung, Giano… anak gunung.
Berubah mimik beramarah. “dan… itulah alamku, gunung… pemberi ketangguhan bagi
siapa yang berani!”.
Titik Tengah - Kota…
Ketiga
orang tersebut masih membahas Pantai – Gunung. Keduanya saling menjatuhkan.
Yang satu terlihat mengangguk-ngaguk, entah mengerti entah tidak. Polos.
Terlahir di Kota, Regan… anak Kota. Anak polos bijaksana.
“yahhh..
namun bagaimanapun… Bahwa, dimana orang yang terlihat berada digunung, maka
orang tersebut adalah tangguh. Berbeda dengan pantai, dimana orang terlihat
dipantai apalagi ditepian pantai, maka orang tersebut sedang berleha-leha...
malas, pe-ma-las hha” dengan mengibas-ngibaskan tangannya berlahan-pelan
dihamparan angin. Menegaskan sang berleha-leha yang digambarkan. Lalu tertawa
pelan melecehkan. “hei ia gan?” Giano mencari pendukung.
“Hei!...”
Rafasa mencoba memotong dan menjelaskan.
“heh
ga baik potong-potong… tenanglah Raf… memang benarkan seperti itu?”. nada
memancing. “heh… lu kan yang suruh gue cerita? Ya memang begitulah perbedaan dari
Pantai dan Gunung Raf”. Giano tersenyum manis pertanda melecehkan.
“Owww…
anjrit banget ni orang. Hei! Gue ga ngajak lu ribut! Cerita sih cerita, tapi
gak usah ngejelek-jelekin tanpa lo tau yang sebenernya. Pernah kepantai aja
belum! Sialan lu”. Muka bĂȘte Rafa mulai nyala.
“eh-eh-ehh.. lupa pada yaa… aneh gue, baru
kali ini gue liat lu-lu pada debatin yang ga penting, ga bermutu tau. Terus gak
nanya gimana keadaan dikota, itu kan tempat kelahiran gue ahhh ga care nih… huh!
Pantai-gunung-pantai-gunung terus aja debatin itu”. Mencoba menengahi tapi
tetep tuh anak jeles, iri juga.
Serentak
Rafasa dan Giano menolak “GAK PEN-TING!!!”. Sebenernya ngapain juga Rafasa dan
Giano nanya-nyanya ngebahas tentang Kota, toh mereka sedang merasakan keadaan
diKota, yang menurutnya sumpek, pengap, bau, kotor, hah tak ada indahnya. Tapi perlu
dikeritisi supaya ada perubahan kan. Kota yang mereka jejaki sekarang,
sebenernya kepaksa. Tuntutan orang tua. Untuk kuliah. Niat kuliah sih, tapi
jurusan yang mereka ingin, keinginan orang tua. Lagian mereka berdua, Rafasa
dan Giano lebih senang, bahkan lebih bangga kalau kuliahnya itu di provinsi
kelahirannya. Tanpa bisa menikmati keindahan, kedamaian, dan kekaguman Sang
Pencipta Alam yang alami, natural.
Gondok
yang masih dirasain Rafasa, dia coba lanjutin topic tadi tapi tanpa Regan. Giano,
dengan mantap ngangguk-ngangguk “oke, tanpa Regan” sambil menunjukan sesosok
Regan dengan dagunya, lalu tertawa.
Entah
memang hujan uda reda, entah emang jeles si Regan pamit pulang duluan. “shit
banget lu pada, yauda lanjut aja tuh debat kalian, gue pulang duluan guys…
jangan ada yang nebeng!!! Puas lo?! Hhaha”.
Terbirit-biritlah
si Rafasa dan Giano inget uang di dompet mulai tipis, ngejar-ngejar Regan minta
tumpangan. “Gan…Gan… tunggu nape? Gue mau emmm nebeng, kan lu tau isi dompet
gue uda tipis, yah… emm emang dah lu ma orang yang paling baek sedunie su’ran
dah”. Dan bcicitcicitcicitcitcicitcitcitcit si Giano ngolo-ngolo1 minta nebeng, yang kepaksa mohon-mohon
minta nebeng, yang sebenernya ogah dan anti banget dengan mohon-mohon. Giano tipe
orang yang cu’ek, tampilannya ngasal tapi bikin cwe-cwe kampus kelepek-kelepek.
Gaya orang pendaki gunung, kekampus pun dia hobby pake sepatu gunungnya, celana
jins, dan kaos berkerah. Dipadukan dengan jaket sport yang selalu gonta-ganti karna
emang hobbynya koleksi jaket. Ditambah ransel dominan hitam berpolet merah yang
menandakan berani. Jam tangan, kalung dan gelang yang selalu menjadi ciri khas
dia. Gagah.
Disusul
Rafasa giliran dia yang mohon-mohon. Beda ama si Giano, Rafasa lebih ga
gengsian, malah pas mohon-mohon buat nebeng, dia juga mohon minta diteraktirin
makan yang berbau seafood. “yah… yahhh… ajakin gue makan, beneran perut gue
keroncongan gak papalah ama ikan asin juga…” dandanan Rafasa bisa dibilang cuek
juga kalo dibanding ama cwe kota yang berpenampilan rapi, maching sesuai jaman tapi
kadang sebagian ada yang rempong. Tapi, walau begitu dia terlihat cantik, putih
walau dia terlahir dipantai, berwajah pirus, berambut galling agak pirang,
tinggi, cocoknya sih kalo jadi model. Tapi Rafasa tidak berkeingin untuk
seperti itu. Tapi sayang terlihat
cantik, dan elok namun dibalik itu dia cwe super duper blo’on. Cwe yang ga bisa
nangkep sekali duakali penjelasan, setidaknya tiga kali. Tapi banyak tuh
cwo-cwo yang ingin nyantol ke dia.
Untuk
Regan, dia cwo perfect. Beda ama Rafasa dan Giano. Soal penampilan dia lebih
memperhatikan. Malah sering perawatan. Rapi banget penampilannya tu, eh bukan
penampilannya aja… tapi kamarnya yang bukan lagi segede lapang bola tapi segede
lapang golf… rapi bener, tertata apik. Walau dia bisa dibilang perfect, tetep
dia terlahir jadi malaikat buat Rafasa dan Giano yang satu lagi terlahir tidak
menyombongi atas apa yang dia miliki. Ramah. Dia juga sama banyak fans cwe-cwe
kampus.
“oke..
oke.. mana bisa sih gue nolak, apalagi liat dua orang depan geu sekarat,
sekarat dompet maksudnya sob… tapi ngomong-ngomong ga jadi nih lanjutin
debatnya?” mereka tertawa. Refasa dan Giano saling tatap. “oh masalah itu
dipending dulu, yang penting isi perut…” sambil menepuk-nepuk peruk kemplengnya,
dan tertawa lagi. “hemmm untuk itu gue setuju ama lu Raf, gue tunggu lanjutan
debat kita di chat nanti malem!” Giano nantangin “oke!” tersenyum getir. Dan memasuki
mobil.